Lanjut ke konten

Suku Madura

September 6, 2009
tags: ,

Suku Madura di Indonesia jumlahnya kira-kira ada 10 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Pulau Sapudi, Pulau Raas dan Kangean. Selain itu, orang Madura tinggal di bagian timur Jawa Timur, dari Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura di Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo jumlahnya paling banyak, dan jarang yang bisa berbahasa Jawa.

Suku Madura juga banyak dijumpai di provinsi lain seperti Kalimantan, di tempat huruhara di Sampit dan Sambas. Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang Madura senang berdagang dan dominan di pasar-pasar. Selain itu banyak yang bekerja menjadi nelayan, buruh, pengumpul besi tua dan barang-barang rongsokan lainnya.

Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji).

Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa “Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang Pote Mata”. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Tradisi carok juga berasal dari sifat itu.

Strategi mempertahankan Budaya Madura

September 6, 2009

Usaha untuk mempertahankan adalah sebuah usaha reaksi yang lebih bersifat responsive daripada aksi-aksi yang kreatif. Sementara budaya yang ingin dipertahankan khususnya pada masyarakat Madura masih berupa sebuah nilai yang nisbi (karena keberadaannya tidak terkonseptualisasikan secara sepakat), apalagi usaha semacam ini dimaksudkan dalam rangka menghadapi sebuah realitas yang cenderung kapitalistik dan materialistik. Oleh karena itu, saya melihat, adanya indikasi bahwa usaha ini tidak akan banyak berpengaruh seperti yang diharapkan. Namun demikian, bukan berarti kita tidak mampu berbuat apa-apa, karena yang bisa kita lakukan dalam saat ini, adalah tahapan identifikasi sebuah budaya yang lebih konkret, sehingga kita mampu dengan mudah untuk merumuskan sebuah strategi pertahanan yang diperlukan. Karena ketika kita sudah menemukan wujudnya yang riil, bisa jadi kita tidak lagi membutuhkan usaha pertahanan ini —pertahanan yang difensif, karena dipandang tidak lagi menguntungkan, malah yang dianggap paling menguntungkan nantinya malah usaha sebaliknya, yaitu strategi pengembangan (strategy of development) dan aktualisasi serta sosialisasi budaya yang relative gencar.

Budaya dalam artian yang sederhana, tentu sudah kita pahami bersama, ia merupakan hasil dari sebuah peradaban manusia yang dilakukan secara turun temurun dengan sebuah legitimasi komunal masyarakat setempat. Khusus untuk kawasan Madura, yang bisa kita katagorikan ke dalam arti ‘budaya’ dalam pemaknaan semacam ini sungguh sangat banyak sekali. Walaupun tentunya juga, kita sadar bahwa yang dimaksud dengan legitimasi di sini adalah nilai-nilai budayanya yang masih relevan dengan ajaran-ajaran agama Islam, sebagai agama mayoritas penduduknya. Maka kalau demikian adanya, penulis sedikit memberikan gambaran budaya Madura yang mungkin masih layak untuk dipertahankan. Lagi-lagi dalam kaca mata agama.

Budaya Madura yang dimaksud di atas, tidak akan jauh dari beberapa nilai di bawah ini:

1. Kesadaran untuk saling membina persaudaraan
2. Loyalitas keagamaan yang cukup tinggi
3. Ramah tamah dan saling menghormati
4. Berpegang teguh pada prinsip “lebih baik putih tulang daripada putih mata”
5. Terbuka tapi tetap mempertahankan gengsi kehormatan, khusus untuk maduranis yang berada di Mesir, ini lebih kita kenal dengan inklusifisme.
6. Solidaritas yang tinggi
7. Pengertian dan toleransi
8. Dll.

Walaupun demikian, ada juga budaya yang sudah terlanjur menjadi imij negative bagi masyarakat Madura —yang sebetulnya hanyalah kebisaaan segelintir orang saja, tapi karena didukung oleh proses sosialisasi yang terus menerus pada saat melakukan perantauan ke luar daerah, maka kemudian budaya-budaya seperti ini terkesan lebih dominan. Budaya seperti yang saya maksudkan ini, mempunyai karakteristik anarkis dan suka kekerasan. Anehnya, ini sering terjadi dalam situasi bertahan atau untuk mempertahankan diri.

Nah, pertanyaan selanjutnya, mengapa harus ada strategi pertahanan? Bukankah pertahanan yang paling baik adalah menyerang? Lalu mengapa pertahanan defensif harus dilakukan? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenisnya. Untuk menjawabnya, saya kira ada banyak kemungkinan, tapi kemungkinan-kemungkinan yang paling mendekati sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas tersebut adalah kekhawatiran-kekhawatiran. Yaitu, khawatir untuk dimarjinalkan, khawatir untuk tersingkirkan, … dst. Di mana budaya yang selama ini sedemikian kuat mengakar di tengah-tengah masyarakat Madura, dikhawatirkan lenyap sedikit demi sedikit seiring perubahan zaman dan era moderenisasi yang semakin global. Pelbagai kekhawatiran inilah yang kemudian menjadi motivasi untuk identifikasi budaya dan mempertahankannya. Tapi, tentu saja kekhawatiran itu tidak datang sekonyong-konyong, pasti ada sebuah tantangan yang datang dari luar; berupa globalisasi. Tantangan ketersambungan glabalisasi ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap terkikisnya budaya Madura tersebut, Sehingga tantangan globalisasi yang sebetulnya tidak pernah diam itu, lebih mirip dengan sebuah agresi yang terus-menerus menyerang tiada henti; siang dan malam. Hingga pantas sekali apabila ada inisiatif untuk memikirkan secara bersama-sama langkah-langkah strategis dalam rangka mempertahankan budaya yang dimaksud.

Ternyata memang benar, ancaman globalisasi modern tersebut sebentar lagi akan masuk secara langsung vis a vis dengan budaya Madura, yaitu, masuknya jembatan Suramadu yang menghubungkan pulau Madura dengan kota terbesar kedua di Indonesia (Surabaya). Apa yang akan terjadi di Madura setelah tahun 2008 (ahir tahun target selesainya Jembatan Suramadu yang digarap pertama kali pada tanggal 20 Agustus 2003) —atau istilah yang lebih pas pasca jembatan Suramadu tersebut? Nah, inilah barangkali yang saat ini sedang kita raba-raba, yaitu, kemungkinan masuknya kekuatan budaya asing yang notabenenya bertentangan dengan budaya ketimuran kita, karena secara serta-merta; cepat atau lambat, budaya asing tadi akan menggantikan posisinya, tanpa ada pemaksaan tanpa ada kekerasan. Mengapa demikian? Karena disamping usaha identifikasi budaya sebagaimana disinggung di atas terlambat dilakukan (sebagai langkah antisipasi), ditambah lagi dengan gencarnya propaganda lain yang bersifat materialistik dan tuntutan ekonomis. Bahkan bukan hanya itu, kesadaran untuk mempertahankan diri pun, bagi masyarakat Madura saat ini terkesan dadakan dan kebakaran jenggot.

Lalu strategi apa yang ingin kita terapkan dalam rangka mempertahankan intensitas budaya Madura pasca Suramadu ini? Ini adalah pertanyaan besar yang akan kita diskusikan bersama. Dalam oretan singkat ini, saya hanya ingin memaparkan beberapa gagasan yang sempat bergulir di berbagai seminar tentang budaya Madura itu sendiri atau inisiatif para tokoh Madura, di antaranya:

1. pengembangan SDM masyarakat Madura yang lebih bersifat aplikatif; baik berupa akademis maupun teknis lainnya. Seperti pemberian beasiswa bagi putra daerah dalam bidang-bidang tehnik dan perindustrian (H.M. Noer, dinas-infokom-jatim.go.id, 13 Jaunuari 2004)
2. pengembangan ekonomi kerakyatan yang merata dan percepatan pembangunan daerah (Didik J Rachbini, Atur Strategi, Jangan Keburu Minta Provinsi, serambi Madura, 20 Desember 1999)
3. pengembangan infrasruktur yang lebih maju. (Andang Subaharianto, Rencana Pembangunan Jembatan Suramadu, Kompas Jatim, 21 Oktober 2002)
4. ada kesepakatan kolektif dari masyarakat untuk tetap mempertahankan budaya local, ini dapat direalisasikan dengan cara mendudukkan seluruh pimpinan stakholder pemerintah Madura dalam satu tempat. (Lokakarya)
5. tata letak daerah yang mendukung terhadap pelestarian budaya, seperti didirikannya masjid-masjid di tempat-tempat strategis dan perkantoran dan pertokoan. (Rektor Univ. Unitomo Bangkalan)
6. aktualisasi peran santri dan pesantren dalam bidang-bidang perdagangan dan peternakan, artinya, civitas pesantren dituntut untuk mampu mengoptimalisasikan perannya dalam semua lini, termasuk lahan-lahan teknis politik praktis dan ekonomi. (H.M. Noer dinas-infokom-jatim.go.id, 13 Jaunuari 2004)
7. dll.

Dengan demikian, usaha membangun strategi pertahanan sebagaimana kita pahami urgensinya di atas, tidak bisa hanya mengandalkan pertahanan yang difensif, akan tetapi harus kita lakukan dengan aksi-aksi kreatif dan inovatif yang terus menerus. Serta adanya perhitungan yang matang, mengukur kekuatan lawan dengan kemampuan kompetitif kita. Sebab kalau tidak, yang terjadi malah sebaliknya. (27 Pebruari 2006

Sate Madura

September 6, 2009

Sate Madura adalah sate khas Madura. Sate Madura biasanya terbuat dari ayam. Madura selain terkenal sebagai pulau garam, juga terkenal dengan satenya. Sate madura sudah terkenal di seluruh Nusantara, Sate Madura dapat ditemukan hampir di semua daerah khususnya di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Konon di Madura sendiri sate susah dicari. Tetapi selain ayam sebagai bahan utama sate juga ada yang menggunakan kambing yang ditandai dengan digantungnya bagian kaki belakang si kambing di rombong sang penjual sate. Bumbunya adalah campuran kacang yang ditumbuk halus petis dan sedikit bawang merah. Memanggangnya dengan api dari batok kelapa yang dihanguskan lebih dulu yang disebut dengan arang batok kelapa. Rasanya gurih tapi dipantangkan kepada mereka yang berkolesterol tinggi dan yang pengidap asam urat akut.

Latar belakang

Sate Madura umumnya adalah sate ayam yang diberi sambal berupa saus kacang. Namun di Madura sendiri kadangkala yang dipakai bukanlah saus kacang namun saus atau sambal kemiri. Selain itu seringkali arang pembakaran sate ini sering ditaburi dengan jeruk limau.

Untuk meraup lebih banyak keuntungan, pedagang sate sering mencampur bumbu kacang dengan nasi kering yang telah dihaluskan. Nasi kering ini, dalam bahasa Bali disebut senggauk, merupakan nasi sisa yang dijemur di bawah terik matahari. Di beberapa daerah di Jawa, seperti pesisir utara, sepanjang pantura (pantai utara) meliputi daerah Indramayu, Brebes, nasi semacam itu disebutnya nasi aking. Umumnya dimakan orang-orang miskin yang tidak mampu membeli beras yang termurah sekalipun.

Wisata

September 6, 2009

lombang * Pantai Lombang – adalah pantai dengan hamparan pasir putih dan gugusan tanaman cemara udang yang tumbuh di areal tepi dan sekitar pantai. Suasananya sangat teduh dan indah sekali. pantai Lombang adalah satu-satunya pantai di Indonesia yang ditumbuhi pohon cemara udang.
slopeng * Pantai Slopeng – adalah pantai dengan hamparan gunung pasir putih yang mengelilingi sisi pantai sepanjang hampir 6 km. Bila anda suka memancing ikan di laut, maka kawasan pantai ini sangat cocok untuk mancing ria karena areal lautnya kaya akan beragam jenis ikan, jenis ikan tongkol juga ada.

Madura yang termaginalkan

September 6, 2009

Strategi Mempertahankan Intensitas Budaya Madura§
Oleh, Nurul Hadi Abdi
Usaha untuk mempertahankan adalah sebuah usaha reaksi yang lebih bersifat responsive daripada aksi-aksi yang kreatif. Sementara budaya yang ingin dipertahankan khususnya pada masyarakat Madura masih berupa sebuah nilai yang nisbi (karena keberadaannya tidak terkonseptualisasikan secara sepakat), apalagi usaha semacam ini dimaksudkan dalam rangka menghadapi sebuah realitas yang cenderung kapitalistik dan materialistik. Oleh karena itu, saya melihat, adanya indikasi bahwa usaha ini tidak akan banyak berpengaruh seperti yang diharapkan. Namun demikian, bukan berarti kita tidak mampu berbuat apa-apa, karena yang bisa kita lakukan dalam saat ini, adalah tahapan identifikasi sebuah budaya yang lebih konkret, sehingga kita mampu dengan mudah untuk merumuskan sebuah strategi pertahanan yang diperlukan. Karena ketika kita sudah menemukan wujudnya yang riil, bisa jadi kita tidak lagi membutuhkan usaha pertahanan ini —pertahanan yang difensif, karena dipandang tidak lagi menguntungkan, malah yang dianggap paling menguntungkan nantinya malah usaha sebaliknya, yaitu strategi pengembangan (strategy of development) dan aktualisasi serta sosialisasi budaya yang relative gencar.
Budaya dalam artian yang sederhana, tentu sudah kita pahami bersama, ia merupakan hasil dari sebuah peradaban manusia yang dilakukan secara turun temurun dengan sebuah legitimasi komunal masyarakat setempat. Khusus untuk kawasan Madura, yang bisa kita katagorikan ke dalam arti ‘budaya’ dalam pemaknaan semacam ini sungguh sangat banyak sekali. Walaupun tentunya juga, kita sadar bahwa yang dimaksud dengan legitimasi di sini adalah nilai-nilai budayanya yang masih relevan dengan ajaran-ajaran agama Islam, sebagai agama mayoritas penduduknya. Maka kalau demikian adanya, penulis sedikit memberikan gambaran budaya Madura yang mungkin masih layak untuk dipertahankan. Lagi-lagi dalam kaca mata agama.

Budaya Madura yang dimaksud di atas, tidak akan jauh dari beberapa nilai di bawah ini:

1. Kesadaran untuk saling membina persaudaraan
2. Loyalitas keagamaan yang cukup tinggi
3. Ramah tamah dan saling menghormati
4. Berpegang teguh pada prinsip “lebih baik putih tulang daripada putih mata”
5. Terbuka tapi tetap mempertahankan gengsi kehormatan, khusus untuk maduranis yang berada di Mesir, ini lebih kita kenal dengan inklusifisme.
6. Solidaritas yang tinggi
7. Pengertian dan tolerans
8. Dll.
Walaupun demikian, ada juga budaya yang sudah terlanjur menjadi imij negative bagi masyarakat Madura —yang sebetulnya hanyalah kebisaaan segelintir orang saja, tapi karena didukung oleh proses sosialisasi yang terus menerus pada saat melakukan perantauan ke luar daerah, maka kemudian budaya-budaya seperti ini terkesan lebih dominan. Budaya seperti yang saya maksudkan ini, mempunyai karakteristik anarkis dan suka kekerasan. Anehnya, ini sering terjadi dalam situasi bertahan atau untuk mempertahankan diri.

Nah, pertanyaan selanjutnya, mengapa harus ada strategi pertahanan? Bukankah pertahanan yang paling baik adalah menyerang? Lalu mengapa pertahanan defensif harus dilakukan? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenisnya. Untuk menjawabnya, saya kira ada banyak kemungkinan, tapi kemungkinan-kemungkinan yang paling mendekati sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas tersebut adalah kekhawatiran-kekhawatiran. Yaitu, khawatir untuk dimarjinalkan, khawatir untuk tersingkirkan, … dst. Di mana budaya yang selama ini sedemikian kuat mengakar di tengah-tengah masyarakat Madura, dikhawatirkan lenyap sedikit demi sedikit seiring perubahan zaman dan era moderenisasi yang semakin global. Pelbagai kekhawatiran inilah yang kemudian menjadi motivasi untuk identifikasi budaya dan mempertahankannya. Tapi, tentu saja kekhawatiran itu tidak datang sekonyong-konyong, pasti ada sebuah tantangan yang datang dari luar; berupa globalisasi. Tantangan ketersambungan glabalisasi ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap terkikisnya budaya Madura tersebut, Sehingga tantangan globalisasi yang sebetulnya tidak pernah diam itu, lebih mirip dengan sebuah agresi yang terus-menerus menyerang tiada henti; siang dan malam. Hingga pantas sekali apabila ada inisiatif untuk memikirkan secara bersama-sama langkah-langkah strategis dalam rangka mempertahankan budaya yang dimaksud.

Ternyata memang benar, ancaman globalisasi modern tersebut sebentar lagi akan masuk secara langsung vis a vis dengan budaya Madura, yaitu, masuknya jembatan Suramadu yang menghubungkan pulau Madura dengan kota terbesar kedua di Indonesia (Surabaya). Apa yang akan terjadi di Madura setelah tahun 2008 (ahir tahun target selesainya Jembatan Suramadu yang digarap pertama kali pada tanggal 20 Agustus 2003) —atau istilah yang lebih pas pasca jembatan Suramadu tersebut? Nah, inilah barangkali yang saat ini sedang kita raba-raba, yaitu, kemungkinan masuknya kekuatan budaya asing yang notabenenya bertentangan dengan budaya ketimuran kita, karena secara serta-merta; cepat atau lambat, budaya asing tadi akan menggantikan posisinya, tanpa ada pemaksaan tanpa ada kekerasan. Mengapa demikian? Karena disamping usaha identifikasi budaya sebagaimana disinggung di atas terlambat dilakukan (sebagai langkah antisipasi), ditambah lagi dengan gencarnya propaganda lain yang bersifat materialistik dan tuntutan ekonomis. Bahkan bukan hanya itu, kesadaran untuk mempertahankan diri pun, bagi masyarakat Madura saat ini terkesan dadakan dan kebakaran jenggot.

Lalu strategi apa yang ingin kita terapkan dalam rangka mempertahankan intensitas budaya Madura pasca Suramadu ini? Ini adalah pertanyaan besar yang akan kita diskusikan bersama. Dalam oretan singkat ini, saya hanya ingin memaparkan beberapa gagasan yang sempat bergulir di berbagai seminar tentang budaya Madura itu sendiri atau inisiatif para tokoh Madura, di antaranya:

1. pengembangan SDM masyarakat Madura yang lebih bersifat aplikatif; baik berupa akademis maupun teknis lainnya. Seperti pemberian beasiswa bagi putra daerah dalam bidang-bidang tehnik dan perindustrian (H.M. Noer, dinas-infokom-jatim.go.id, 13 Jaunuari 2004)
2. pengembangan ekonomi kerakyatan yang merata dan percepatan pembangunan daerah (Didik J Rachbini, Atur Strategi, Jangan Keburu Minta Provinsi, serambi Madura, 20 Desember 1999)
3. pengembangan infrasruktur yang lebih maju. (Andang Subaharianto, Rencana Pembangunan Jembatan Suramadu, Kompas Jatim, 21 Oktober 2002)
4. ada kesepakatan kolektif dari masyarakat untuk tetap mempertahankan budaya local, ini dapat direalisasikan dengan cara mendudukkan seluruh pimpinan stakholder pemerintah Madura dalam satu tempat. (Lokakarya)
5. tata letak daerah yang mendukung terhadap pelestarian budaya, seperti didirikannya masjid-masjid di tempat-tempat strategis dan perkantoran dan pertokoan. (Rektor Univ. Unitomo Bangkalan)
6. aktualisasi peran santri dan pesantren dalam bidang-bidang perdagangan dan peternakan, artinya, civitas pesantren dituntut untuk mampu mengoptimalisasikan perannya dalam semua lini, termasuk lahan-lahan teknis politik praktis dan ekonomi. (H.M. Noer dinas-infokom-jatim.go.id, 13 Jaunuari 2004)
7. dll.

Dengan demikian, usaha membangun strategi pertahanan sebagaimana kita pahami urgensinya di atas, tidak bisa hanya mengandalkan pertahanan yang difensif, akan tetapi harus kita lakukan dengan aksi-aksi kreatif dan inovatif yang terus menerus. Serta adanya perhitungan yang matang, mengukur kekuatan lawan dengan kemampuan kompetitif kita. Sebab kalau tidak, yang terjadi malah sebaliknya. (27 Pebruari 2006)

§ disampaikan dalam diskusi santai dengan komunitas masyarakat Madura yang tergabung dalam Forum Studi Keluarga Madura (FOSGAMA) Mesir, di secretariat, pada tanggal 28 Pebruari 2006.
Prev: Saat DEPAG Ambil Alih
Next: ICMI Orsat Kairo